Kamis, 01 November 2018

Wiji Thukul , Penyair yang Hilang

Wiji Thukul , Penyair yang Hilang


Wiji Thukul , Penyair yang Hilang - Mungkin ada yang sudah mengenalnya, ada yang hanya sekelebat saja singgah pada memori, dan ada pula yang tidak tahu menahu tentangnya. Seorang yang hingga kini raib bak ditelan bumi. Kemudian kasusnya tergeletak begitu saja dan berhenti diperbincangkan. Akan tetapi, beberapa puisinya masih abadi hingga kini.

Kawan, kali ini kita belajar pada Wiji Thukul. Sosok manusia yang membela mati-matian bangsanya dari kekejaman pemerintah pada masa Orde Baru. Seorang yang rela meninggalkan keluarganya demi mempertahankan harga diri bangsa. Dalam pelariannya menulis puisi yang berjudul “Catatan”, yang berisi pesan untuk istri dan anak-anaknya.

            Kalau kelak anak-anak kita bertanya mengapa dan aku jarang pulang
            Katakan Ayahmu tak inging jadi pahlawan
            Tapi dipaksa menjadi penjahat
            Oleh penguasa yang sewenang-wenang


Nama aslinya Wiji Widodo, lahir di Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963. Istrinya bernama Siti Dyah Sujirah (Sipon), anaknya bernama Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Thukul tidak sama sekali mempesona, penampilannya bahkan tidak menarik sedikit pun. Rambut lusuh, baju kumal, celana kusut, tapi bila membaca puisi dihadapan semua orang, aparat akan memberinya cap sebagai agitator, penghasut.

Sejak Agustus 1996, penyair ini mengembara dari satu kota ke kota lainnya. Bersembunyi, menyamar, berlari, tinggal dimana pun asal bisa tidur dan menulis. Dikarenakan Thukul sebagai aktivis yang menentang pemerintahan Orde Baru yang sewenang-wenang.

Thukul, dikenal sebagai penyair yang bilamanana puisinya dibacakan bisa menyulut pemerintah. Murid dari penyair terkenal bernama W.S Rendra. Dimanapun berada, Thukul tetap menulis meski dengan komputer jadul yang sangat sederhana. Salah satu puisinya yang terkenal berjudul “Penyair”

            PENYAIR
            Jika tak ada mesin ketik
            Aku akan menulis dengan tangan
            Jika tak ada tinta hitam
            Aku akan menulis dengan arang
            Jika tak ada kertas
            Aku akan menulis pada dinding
            Jiks aku menulis dilarang
            Aku akan menulis dengan tetes darah!


Pada pertengahan Mei 1998, kerusuhan pecah di Jakarta dan Solo. Akan Thukul masih sempat menghubungi istrinya tentang keadaannya. Hingga pada akhirnya lenyap tanpa kabar. Tapi keluarganya masih percaya Thukul masih hidup. Tapi pada April 2000, Sipon, istri Thukul resmi melapor ke kontraS (Komisi untuk orang hilang dan tindak kekerasan) terkait suaminya yang hilang.

Puisinya yang paling terkenal sekaligus dibenci pemeritahan Orde Baru berjudul “Peringatan”

            PERINGATAN
            Jika rakyat pergi
            Ketika penguasa pidato
            Kita harus hati-hati
            Barangkali mereka putus asa
            Kalau rakyat sembunyi
            Dan berbisik-bisik
            Ketika membicarakan masalahnya sendiri
            Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
            Bila rakyat tidak berani mengeluh
            Itu artinya sudah gawat
            Dan bila omongan penguasa
            Tidak boleh dibantah
            Kebenaran pasti terancam
c          Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
            Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
            Dituduh subvertiv dan mengganggu keamanan
            Maka hanya ada satu kata: lawan!



Kisah ini hanya sebuah perkenalan. Tentang sosok Wiji Thukul, penyair dengan karyanya yang hebat. Kawan, kalian perlu belajar sejarah bangsa ini. Bukan hanya tentang kisah-kisah romansa. Kalian perlu mengenal tentang Negara ini, dimana pernah hidup manusia-manusia tangguh dengan kecerdasannya. Salam pendidikanJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar